March 9, 2011

Favorite cheese... (Bab 2)

2
            Are membuka matanya perlahan. Tabrakan itu telah membuatnya jatuh terduduk di lantai. Are menatap orang yang tadi ia tabrak. Cowok itu juga terjatuh. Are perhatikan dari bawah hingga ke atas, pakaiannyapun tak luput dari perhatian Are. Dari segi berpakaian, dia bukan anak baru seperti Are.
Kini mata Are naik memperhatikan wajahnya, wajah yang tampan dengan alis yang tebal dan rahang yang kuat mempertegas sosok cowok yang berdiri di depannya. Are segera berdiri ketika sosok yang di depannya juga berdiri membersihkan baju seragamnya. Are sedang memperhatikannya, ketika mata mereka saling bertemu, cepat-cepat Are menunduk dan meminta maaf.
“Maaf kak, saya sedang terburu-buru. Kakak tidak kenapa-napa kan ?” Are meminta maaf dan bertanya khawatir. Baru satu hari dia bersekolah, dia tidak ingin terkena masalah, apalagi dengan senior. Bukannya takut, tetapi selagi masalah bisa dihindari, Are lebih memilih menghindar. Cukup untuk hari ini saja iya dihukum oleh senior.
Laki-laki didepannya hanya diam. Setelah ditatapnya mata Are, cowok itu berlalu. Dia berjalan membelakangi Are dan pergi meninggalkan Are dengan menyisakan perasaan bingung dan was-was. Takut, siapa tau pria itu marah dengannya, atau mungkin dia terkena gegar otak karena tabrakan tadi . Yang terakhir, membuat Are takut.
Are berbalik, ditatapnya kepergian pria itu. Ketika sedetik kemudian Are ingin membuka suara, untuk memanggilnya. Are teringat, dia sudah terlambat masuk ke kelas. Urusan minta maaf dipending dulu. Suatu saat Are pasti akan menemui laki-laki itu lagi.
Karena waktu keterlambatannya sekarang menjadi 15 menit. Takhayal, Are segera berbalik dan berlari. Tapi, kali ini Are sedikit mengontrol kecepatan larinya. Are sekarang telah berada di depan pintu kayu yang di atasnya tergantung papan bertuliskan kelas X-2. Are mengetuk pintu.
Took.. took.. took..
“Permisi bu. ” Are membuka pintu.
Langsung saja, semua yang berada didalam kelas, matanya tertuju pada sosok perempuan yang berdiri didepan pintu. Guru yang mengajarpun ikut meperhatikan Are. Ibu yang tidak Are ketahui namanya itu pun menyuruh Are masuk dan menghampiriya di meja depan.
“Kenapa kamu terlambat ?” .
“Saya baru menjalani hukuman dari senior bu” Are menunduk, ia sudah siap seandainya akan dihukum lagi di dalam kelas. Tetapi, tampaknya guru yang satu ini masih mentolerir perbuatan muridnya.
“Ya sudah sekarang kamu duduk dibangku yang kosong!” Katanya bijak.
“Baik bu, terimakasih.”
Are lalu memperhatikan ke sekeliling kelasnya. Hanya ada tinggal dua bangku yang kosong, yang satu berada di barisan pojok kanan dua meja dari barisan depan, tetapi kalau Are memilih duduk disitu berarti teman sebangkunya adalah sosok pria melambai dengan bulu mata lentik dan bibir basah.
Lebih baik Are memilih duduk di bangku kosong yang satunya. Yang terletak di  barisan tengah, dua meja dari depan. Dan, sosok perempuan yang akan duduk di sebelahnya adalah sosok perempuan berkulit putih bermata sipit sepertinya dia keturunan cina.
“ Apakah bangku ini kosong ?” Are bertanya sopan
“Kosong kok, duduk aja” kata perempuan itu sambil tersenyum. Senyumnya membuat mata sipitnya semakin menghilang kini hanya membentuk suatu garis mata.
“Oh ya, makasih.” Are duduk dan memperkenalkan diri “ Aku Are, nama kamu siapa ?”
“Aku Meimei, panggil aja Mei!”

***

           
Sudah seminggu Are menjadi siswi SMA, kini Are telah memiliki teman akrab. Ada Mei teman sebangku Are dan Remi, cowok melambai kandidat teman sebangku Are di hari pertama dia bersekolah. Ternyata Remi anak yang baik dengan gaya ngomong yang ceplas-ceplos, walaupun begitu Remi memiliki hati yang sensitif. Lebih sensitif daripada perempuan yang sebenarnya.
Pagi itu, waktu masih menunjukkan 6.45. Masih ada 15 menit untu bel sekolah berbunyi. Terlihat sekelompok cewek –termasuk Mei dan Remi- dikelas sedang asik membicarakan suatu hal, Are tertarik untuk bergabung.
“Sedang ngomongin apa ? ikuuuuutttt… bagi-bagi cerita donggg!” Are berteriak nimbrung. Teriakan Are membuat para lelaki yang berada di dalam kelas itupun jadi ikut penasaran dengan apa yang sedang dibicarakan. Tetapi tak ingin disamakan dengan Remi, mereka memilih hanya mencuri dengar pembicaraan cewek-cewek itu.
“Kita lagi ngomogin Dimas re” Silvi menjawab. Sepertinya dialah sang sumber utama.
“Dimas ? Dimas mana ? Dimas Seto ? Dimas Andrean? Atau Dimas-dimas hatiku senang?” kata Are sekenanya. Dia memang tidak tau, Dimas siapa yang sedang menjadi topik pembicaraan hangat pagi ini.
“ Huuuu… parah kamu re masak nggak tau Dimas” kata cewek berambut pirang.
“Wah, nggak gaul banget sih kamu re” kali ini suara cewek berambut pendek.
“Oh my God, kamu nggak tau Dimas re ?” kali ini silvi bertanya.
“Are semua cewek di sekolah ini tau siapa Dimas. Bener nggak ?” itu pernyataan dari Mei.
“Eeeemmbbeerrrr…..” Yang ini sudah pasti Remi yang berkomentar.
“Pokoknya re, Dimas itu gantengggg banget deh. Ya nggak??” Mei bertanya pada Remi.
“Hooh, nggak beda jauh kok dengan pacarmu Ega. Gantengnya, tingginya, pokoknya 11 12 deh bok.” Lia -cewek berambut pendek- bercerita dengan semangat. “
“Siapa yang pacaran ? Kita sahabat kok.” Are protes. Tetapi sepertinya tidak didengar.
“Nggak Lia, gantengan Dimas.” Sivi menimpali.
“Iya, tetep Dimas kok. Dimas itu lebih cool.” Kali ini Viona –berambut pirang- buka suara.
“Iya, iya, setuju dengan Silvi. Iya nggak Rem ??” Kali ini Mei.
“Emmbbeerrrrrr….” Lagi-lagi Remi.
“Ahhhh…. STOP. Apaan sih ? Nggak usah pake ribut deh.” Are mulai emosi. “ Tiap orang kan bebas mengutarakan pendapat. Nggak apa-apa kalau Lia punya pendapat yang berbeda. Betul nggak ?”
“Eeeeemmmberrrrrr…… ciintttt”
“Ini lagi satu, bisanya cuma ember. Emang kamu jualan ember ?”Are bosan dengan jawaban Remi.
“Iya re, si Remi jualan ember bolong. Hahaha” Anal laki-laki mulai ikut nimbrung. “ Iya nggak boookkk ???” anak-anak mulai mengejek.
“Eeeemmbbbeerrr…” Rio berkelakar.
Tawapun membahana di dalam kelas. Tapi, kelompok gosip pagi tidak memperdulikannya. Mereka kembali asik melanjutkan cerita Dimas. Silvi paling semangat. Hanya Are yang kini termenung.
Emang kenapa kalau nggak tau siapa Dimas? Emang, harga cabai bakal naik gitu kalau nggak tau sama Dimas. Atau mungkin, Dimas memang penjual cabai. Are menggeleng-geleng kepala.Sepertinya, pikirannya barusan itu tidak mungkin.
Tapi, sepenting apa sih tuh orang ? Emang dia superhero, atau dia artis sehingga semua orang disekolah ini harus kenal dengan namanya Dimas. Are jadi kesal sendiri. Dari namanya sih biasa aja, cenderung pasaran malah. Coba kamu pergi kepasar, trus teriak-teriak manggil nama Dimas. Pasti ada lebih dari lima orang yang menengok. Penjual daging, tukang becak, penjual ikan, preman, penjual cabai mungkin aja namanya Dimas. Kenapa setenar itu sih orang? Terlalu banyak yang berkecamuk dipikiran Are.
Walaupun Are nggak tau siapa Dimas, Are hanya menjadi pendengar gerombolan cewek-cewek itu. Dari apa yang didengar Are, Dimas adalah sosok bintang di SMA Tunas Bangsa. Dengan wajah tampan, dan segudang prestasi dibidang olahraga. Tapi, bukan itu yang membuat para cewek-cewek ini kesemsem setengah mati. Karena kalau hanya tampan, terlalu banyak cowok tampan di SMA Tunas Bangsa. Kata anak-anak sih karena ke coolannya.
Segerombolan cewek-cewek itu terlalu asik bergosip, sampai tidak mendengar bel telah berbunyi. Merekapun tak sadar kalau pak Abdul sudah berada didalam kelas, sampai pak Abdul harus mengetok-ngetok papan tulis dengan penghapus untuk membubarkan mereka.
“Ayoooo anak-anak kembali ke bangku kalian, pelajaran akan segera dimulai”
Are dan kawan-kawan pun terkejut, dan segera membubarkan diri kembali ke meja mereka masing-masing.
Tapi Are kini jadi bertanya-tanya seperti apa sosok Dimas itu? Sampai dikagumi banyak perempuan. Dua jam pelajaranpun dilalui Are dengan percuma.


***


Are menutup buku pelajarannya, baru saja bel istirahat berbunyi. Dia  akan beranjak dari kursi ketika didepan pintu ada Ega bertolak pinggang memanggil namanya.
“Re, ke kantin nggak? Bareng yuuukk !!” ajak Ega
“Yuuukk…”
Are dan Ega berjalan menuju arah kantin yang telah ramai penghuni. Are memesan nasi soto dan es teh sedangkan Ega memesan batagor dan es jeruk.
Mereka memilih tempat duduk yang kosong di sudut kanan kantin.
“Tau nggak ga, anak-anak sekarang hobi banget ngegosip tentang Dimas, anak kelas XII” Are membuka pembicaraan.
“Anak-anak ? kamu juga ikutan kan ?” ujar dimas sambil menyuapkan sesuap batagor ke mulutnya.
“Yaa, aku cuma ikut dengerin, soalnya pada histeris gitu. Masak si silvi sampe bengek waktu cerita ketemu Dimas di jalan. Padahal, yaelah semua orang bisa ketemuan dimana aja.” Are bersemangat menceritakan apa yang disaksikannya tadi pagi kepada Ega.
Setelah peristiwa dihukum bersama itu, kini Are dan Ega menjadi  dekat. Ega sering nyamperin Are dikelas, walaupun pertemanan mereka rada kurang jelas. Kadang akur, eh semenit kemudian berantem, semenit kemudiannya udah cekikikan lagi.
“Hahaha, alah kamu juga naksir dia kan ?? “ Ega  menyeruput es jeruknya.
“Naksir ?”. Uhuukk… Are terkejut. ”Gimana bisa naksir, kalau nggak tau orangnya yang mana.” Are meyeruput es tehnya untuk meredakan tenggorokannya.
“Bohong, masak kamu nggak tau. Wanita kan peka terhadap cowok-cowok ganteng”
“Tuhhh kann… sama aja kamu kayak anak-anak. Nggak percaya!” Are mulai kesal. Ega memberhentikan makannya dan mendekati wajahnya ke Are.
“Serius kamu nggak tau Dimas ?” Ega terkejut.
“Kenapa sih, penting banget yah tuh orang? Sampai semua orang harus tau. Emang kamu tau orangnya yang mana?” Are menyuapkan sendok terkhirnya.
“Hahaha, berarti tuh orang nggak setenar perkataan orang-orang. Buktinya kamu nggak tau.” Ada senyum kemenangan tercetak dibibir Ega.
“Kok malah ketawa ? Ditanyai juga, kamu kenal nggak ??’
“Taulah”
“Hahaha”
“Kok malah diketawain ?” Kening Ega berkerut
“Hahaha, kamu sama aja kayak anak-anak perempuan dikelasku. Ternyata…”
“Ternyata apa ?”
“Nggak jadi deh. “ Are menggelengkan kepala.
“Yeee…. aneeeh.”
“Biarin… weeeekkkk” Lidah Are terjulur mengejek Ega.“Eeh, tapi ga seganteng apa sih orangnya ?” pertanyaan yang dari tadi memenuhi benak Are.
“Biasa aja sih, tapi…”Ega menggantung kalimatnya.
“Tapi apa?” Are benar-benar dibuat penasaran.
“Tapi…. Tetep gantengan aku dong. Hahaha…” Ega tertawa lepas.
“Huuuaaaa…”Are menjitak kepala Ega.
“Adduuuuhhh….” Ega meringis sakit.
“Gila, kecil-kecil jitakkan kamu Ok juga.”
“Baru taukan? hahaha…” kali ini Are yang tertawa. “Udah, yuukkk balik ke kelas! Aku nggak mau telat masuk kekelas Pak Mahmud. Bisa jadi artis dadakan aku, gara-gara dihukum nyanyi didepan kelas.” Are takut membayangkannya.


***

Teeeeettttt……
Are bernafas lega. Akhirnya pelajaran yang dikutuk Are didalam hati ini selesai juga. Bayangkan, siang-siang ditengah hari yang cukup terik. Disaat orang-orang otaknya sudah tidak berada dikelas lagi, mereka harus dipaksa belajar sejarah. Alhasil, Are dan teman-teman dibawa ke setengah alam sadar. Sepertinya ada karung beras yang berada di mata mereka.Sehingga, setiap anak ingin tidur mendengar cerita pak Dodo.
Pak Dodo, adalah guru sejarah kelas X yang “sangat baik” . Pak Dodo tidak peduli, penjelasannya bakal didengar atau tidak, mau muridnya tidur dikelas,bergosip, baca komik, -yang ini asal nggak ketahuan- dan lainnya, yang penting ketika dia bercerita tidak ada satu anakpun yang ribut, dan ketika ulangan tidak ada pula yang remedi.
Pak Dodo, mengakhiri ceritaya. “ Baik anak-anak, minggu depan kita ulangan. Tolong dipersiapkan! Bahan ulangannya sampai dengan apa yang saya jelaskan tadi. Buat yang tadi tidak mendengarkan, saya tidak menerima remedi. Selamat siang” Ada senyum kemenangan yang tersirat diwajah pak Dodo.
Are tertunduk lesu, dia benar-benar mengutuk pelajaran ini. Dia benci sejarah, lebih baik di melihat rumus-rumus yang banyak daripada harus membaca sejarah. Are berjalan pulang, Tapi sebelum pulang dia teringat untuk mampir ketoko buku. Bapaknya tadi pagi menyuruhnya ke toko buku -tempat bapak Are mengambil koran tiap pagi- untuk mengantar uang setoran koran minggu ini. Hari ini, bapak sedang tidak enak badan. Jadi, tidak bisa bekerja dulu.
Tling.. klintingg…ting… bunyi lonceng yang diletakkan di atas pintu berbunyi. Lonceng itu akan berbunyi setiap kali ada tamu datang.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” sapaan hangat penjaga toko menyambut Are. Tak berapa lama kemudian dia menyadari siapa yang datang. Dia tersenyum ramah pada Are.
“Selamat siang Are, bagaimana keadaan bapak re ??” sapa nenek penjaga toko.
“Siang nenek, bapak yah gitu encok, flu, malarianya jadi satu. Ya, semoga aja cepat baikan. Nenek sehat ? Udah lama Are nggak main kesini.” Are tersenyum, ada perasaan bahagia ketika berbicara dengan nenek Manda. Nenek Manda, sudah seperti nenek Are sendiri. Dulu, Are suka membantu nenek Manda di toko. Tapi, semenjak masuk SMA, Are sangat sibuk sampai tidak sempat mengunjunginya.
“Wahhh… bapak harus banyak istirahat itu re.” wajah nenek seperti cemas. ”Nenek sehat, sudah lama ya kamu tidak mengunjungi nenek. Sibuk dengan sekolah ya re ?”
“Iya nek, banyak tugas juga. Nenek Are mau nganterin titipan bapak. Ni, uang setoran koran minggu ini.” Are menyerahkan amplop putih. “Catatan dan semuanya ada di dalam kata bapak.”
Nenek menerimanya dan langsung menghitung uang didalam amplop. “Nek, aku kesana dulu yah ??” masih sibuk menghitung uang, nenek hanya mengangguk dan tersenyum.
Are memutar tiap rak buku di toko itu. Ada perasaan damai setiap kali ia berada di toko itu. Toko ini milik suami nenek Manda, yang meninggal 3 tahun yang lalu. Sekarang, nenek Manda yang menjalankan usaha suaminya. Nenek Manda hanya mempunyai satu orang anak laki-laki yang kini tinggal jauh di Paris. Kata bapak, waktu suami nenek meninggal anaknya telah mengajak nenek Manda untuk ikut ke Paris, tapi nenek tidak mau. Kata nenek, nenek ingin selalu dekat dengan suaminya, caranya ya dari buku-buku di toko ini. Sekarang, nenek hanya tinggal berdua dengan Dewi. Dewi, adalah anak perempuan angkat nenek. Usianya setahun dibawah Are. Dialah yang membantu nenek di toko bersama 1 orang pegawai.
Dulu Are, sering membantu nenek. Are sering membantu melayani pembeli yang kesusahan mencari buku. Sepulang sekolah, Are membantu nenek sampai sore. Are tidak mau digaji dengan uang. Sebagai gantinya nenek memberikan buku yang Are inginkan. Are senang sekali, Are sangat suka membaca. Ketika Are tetap asik dengan berjalan di tiap rak buku. Terdengar telepon dari meja kasir. Nenek Manda mengangkatnya, tak berapa lama kemudian lonceng dari pintu masuk berbunyi.
Tling.. klintingg…ting…
Terdengar teriakan nenek dari meja kasir. “ Are, tolong bantu nenek layani pembeli ya! Nenek sedang ada telpon, Mia -pegawai nenek- lagi digudang.”
Are langsung menghampiri seorang laki-laki pendek dan gemuk, rambutnya sudah mulai menipis.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu ??” kata Are ramah.
Bapak itu lalu menyebutkan buku yang sedang dicari, Are langsung bergegas mencarikan. Ketika akhirnya Are menemukan bukunya, Are langsung memberikan buku tersebut ke bapak berkumis tebal tersebut. Bapak itu lalu memberikan satu lembar uang seratus ribu.
Nenek masih menelpon, Are membungkus buku itu di dalam kantong plastik. Untung Are masih mengerti cara menggunakan mesin kasir. Setelah memberikan uang kembalian. Bapak itu lalu mengucapkan terima kasih dan pergi.
Nenek menutup telponnya
“Barusan telpon dari Paris, anakku mengabarkan istrinya telah melahirkan. Anaknya perempuan.” Terlihat wajah nenek berseri bahagia.
“Wahh, selamat berarti ini cucu ketiga nenek ? pasti dia sangat cantik”
“Ya, katanya bibir mungilnya mirip dengan bibirku. Ah, andai saja aku bisa melihatnya.” Ada raut wajah sedih dimuka nenek.
“Minta saja anak nenek, mengirimkan fotonya!” usulku disambut baik oleh nenek.
“Ya, kamu pintar Are. Apabila dia menelpon lagi, aku akan menyuruhnya mengirim foto cucuku.” Ada semangat baru yanga kembali muncul di wajah nenek.
Aku melihat kearah jendela, sepertinya akan turun hujan. Sekarangpun jam ditanganku, sudah menunjukkan jam 3 sore. Aku harus segera pulang. Aku berpamitan dengan nenek. Aku bergegas pulang, sambil melambai pada nenek. Aku membuka pintu, tapi aku tidak melihat dari arah yang berlawanan ada seseorang yang juga akan membuka pintu.
Brrraaakkkk…..

No comments:

Post a Comment